tamanjernih TamJerhttps://tamanjernih.blogspot.com/

Jumat, 10 Maret 2023

Tentang Bulan Ramadhan bagi umat Islam

taman jernih. Puasa Ramadan adalah salah satu kewajiban agama bagi setiap Muslim yang sudah baligh (dewasa) dan sehat secara fisik dan mental. Hukum puasa Ramadan bagi umat Muslim adalah wajib, artinya tidak melakukan puasa Ramadan tanpa alasan yang sah dapat berakibat dosa di mata agama.

Ada beberapa alasan yang dapat menghalangi seseorang untuk menjalankan puasa Ramadan, seperti sakit yang memerlukan pengobatan, perjalanan yang membutuhkan tenaga ekstra, dan kehamilan atau menyusui. Namun, orang yang tidak berpuasa karena alasan-alasan tersebut harus menggantinya di kemudian hari.

Selain itu, ada beberapa syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi selama menjalankan puasa Ramadan, seperti memulai dan mengakhiri puasa pada waktu yang tepat, tidak melakukan hubungan suami istri saat berpuasa, tidak makan dan minum, serta menjaga diri dari perilaku dan ucapan yang tidak pantas.

Bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut secara sengaja, dapat dikenakan hukuman seperti membayar denda atau melakukan puasa pengganti. Namun, jika pelanggaran dilakukan secara tidak sengaja atau karena keadaan darurat, maka tidak dikenakan hukuman.

Bulan suci Ramadan adalah bulan kesembilan dalam kalender Islam yang dianggap sebagai bulan paling suci bagi umat Muslim di seluruh dunia. Selama bulan ini, umat Muslim di seluruh dunia berpuasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari setiap hari selama satu bulan penuh.

Puasa Ramadan merupakan salah satu dari lima rukun Islam dan diwajibkan bagi setiap Muslim dewasa yang sehat secara fisik dan mental. Selain berpuasa, umat Muslim juga dianjurkan untuk meningkatkan ibadah mereka selama bulan Ramadan, seperti sholat tarawih di malam hari dan membaca Al-Quran.

Selama Ramadan, juga terdapat tradisi yang sering dilakukan oleh umat Muslim seperti makan sahur sebelum fajar, berbuka puasa dengan makanan ringan dan air, dan memberikan sedekah dan amalan kebajikan lainnya.

Bulan Ramadan juga dianggap sebagai waktu untuk mempererat hubungan dengan keluarga, teman, dan komunitas Muslim lainnya. Banyak orang Muslim juga merayakan hari raya Idul Fitri pada akhir bulan Ramadan sebagai tanda akhir dari bulan suci tersebut.
Berikut adalah beberapa hadis dan fatwa tentang puasa dalam agama Islam:

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad bersabda, "Barangsiapa berpuasa Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni" (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad bersabda, "Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan buruk saat berpuasa, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makanan dan minuman" (HR. Bukhari).

Dalam sebuah fatwa, Ulama telah memperbolehkan seseorang yang sedang sakit atau dalam keadaan darurat untuk tidak berpuasa. Namun, mereka harus mengganti puasa tersebut di kemudian hari jika sudah sembuh atau keadaan darurat sudah berlalu.

Dalam sebuah fatwa, Ulama juga telah memperbolehkan seseorang yang sedang bepergian jauh untuk tidak berpuasa, namun mereka juga harus mengganti puasa tersebut di kemudian hari.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr, Nabi Muhammad bersabda, "Puasa dan Quran akan menjadi dua saksi untuk umatku pada hari kiamat" (HR. Ahmad).

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad bersabda, "Barangsiapa memberi makanan berbuka puasa pada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sedikitpun" (HR. Tirmidzi).

Bulan ini dianggap sebagai waktu yang sangat istimewa, karena pada bulan ini umat Muslim diwajibkan untuk berpuasa selama satu bulan penuh dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Bulan Ramadhan juga dikenal sebagai bulan pengampunan dan keberkahan, di mana pahala atas segala amal ibadah yang dilakukan oleh umat Muslim dikalikan berlipat ganda oleh Allah SWT.

Selain puasa, bulan Ramadhan juga dikenal sebagai bulan yang penuh dengan kegiatan ibadah lainnya, seperti shalat tarawih, membaca Al-Quran, memberikan sedekah, dan berdoa lebih banyak dari biasanya. Hal ini dilakukan untuk memperkuat iman dan ketaqwaan, serta menguatkan hubungan dengan Allah SWT.

Puasa di bulan Ramadhan juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan, seperti membersihkan tubuh dari racun, meningkatkan metabolisme, menurunkan berat badan, dan memperkuat sistem kekebalan tubuh. Selain itu, puasa juga mengajarkan umat Muslim untuk bersikap sabar, disiplin, dan berempati dengan mereka yang kurang beruntung.

Di bulan Ramadhan, umat Muslim juga berusaha untuk lebih merangkul persaudaraan dan saling membantu sesama. Banyak kegiatan sosial yang dilakukan, seperti membantu orang miskin, mengunjungi keluarga dan sahabat, serta berbagi makanan dengan orang-orang yang membutuhkan.

Pada akhir bulan Ramadhan, umat Muslim merayakan Idul Fitri atau Hari Raya, di mana mereka saling mengucapkan selamat, memaafkan kesalahan, serta mengunjungi keluarga dan sahabat. Idul Fitri juga menjadi momen yang tepat bagi umat Muslim untuk berbagi kebahagiaan dan berbuat kebaikan kepada sesama.

Dalam kesimpulannya, bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa bagi umat Muslim, di mana mereka berpuasa, melakukan ibadah, serta merangkul persaudaraan dan kebaikan. Bulan ini juga mengajarkan umat Muslim untuk bersikap sabar, disiplin, dan bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, bagi umat Muslim, bulan Ramadhan adalah waktu yang sangat berharga dan penting dalam meningkatkan kualitas hidup dan memperkuat iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Rabu, 15 Februari 2023

Ilmu Tenaga Dalam Menurut Agama Islam

taman jernih. 
Pengobatan dengan Ilmu Tenaga Dalam dimana point-point dari kajian tersebut adalah :

- Peringatan bagi yang mengobati penyakit dengan cara yang haram
- Pentingnya penyembuhan penyakit dengan cara Al-Qur'an dan As-     Sunnah
- Macam-macam penyakit dan kaidah mengobatinya
- Cara pengobatan Sihir dan Guna-Guna
- Obat yang diajarkan Nabi dalam mengobati penyakit Sihir dan Guna-Guna
- Nasehat bagi kaum Muslimin

    Adapun, untuk penjelasan mengenai Pengobatan dengan Ilmu Tenaga Dalam seperti pertanyaan diatas, akan saya salinkan secara ringkas dari soal-jawab yang ada di majalah as-sunnah, edisi 3/TH III/1418, hal 4-5, dimana pertanyaan yang diajukan mempunyai kesamaan.

Pertanyaan.
Ada seseorang baru saja menjadi anggota Terapi Tenaga Dalam. Tujuan nya ingin memiliki kemampuan megobati diri sendiri, dan jika mungkin dapat membantu orang lain. 
Adapun langkah - langkah nya dengan proses sebagai berikut :

1. Berdo'a mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala (teks tidak ditentukan) :
- mohon keselamatan dan manfaat latihan
- mohon ditingkatkan iman dan taqwa
2. Duduk nafas (tarik, tekan, lepas) disertai dengan dzikir, dilanjutkan dengan tafakkur sambil mencoba mengalirkan tenaga dalam ke kaki, seluruh badan dan tangan.
3. Latihan jurus disertai dzikir dalam hati (9 jurus)
4. Duduk nafas lagi
5. Do'a penutup (sama dengan no. 1)

Kesimpulan, tidak bertentangan dengan akidah Islamiyah! Namun demikian setelah membaca As-Sunnah 20/II/1417H sedikit ragu. Oleh karena itu, tolong anda menelitinya. Bila bertentangan, dimana letak kesalahannya. Dan tolong diberi informasi agar tidak terus menerus dalam kesesatan.https://tamanjernih.blogspot.com/
Terma kasih

Jawaban.
Dari pertanyaan dapat kami simpulkan adanya dua permasalahan.

[1] Tentang tenaga Dalam yang antara lain diperoleh dengan cara-cara seperti yang antum sebutkan.
[2] Tentang pengobatan.
Akan kami jawab satu persatu permasalahan di atas melalui pernyataan para ulama.

Pertama, Tentang Tenaga Dalam
-----------------------------
Tenaga dalam merupakan salah satu bentuk 'khawariqul 'adah' (kemampuan luar biasa, adakalanya berasal dari Allah, sebagaimana yang dianugrahkan kepada wali-wali-Nya. Dan ada kalanya berasal dari setan yang kemudian sering dianggap sebagai anugrah ilahi.

Menurut para ulama, diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (lihat Al-Furqan Baina Auliya'ir Rahman wa Auliya'isy Syaithan, hal 168-169, 321-322, 329-356), antara kedua 'khawariqul 'adah' (kemampuan luar biasa) dapat dibedakan dengan dua tinjauan.

[1] Melalui keadaan orang yang mendapatkannya.

    Apabila orang yang mendapatkannya adalah orang yang bertakwa, dari kalangan ahli tauhid, ikhlas dalam beribadah, tidak mengamalkan amalan-amalan bid'ah yaitu amalan ibadah yang tidak mencontoh tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bukan termasuk pelaku maksiat, maka apabila ia mendapatkan 'khawariqul 'adah' berarti itu merupakan anugrah Allah.
Sebaliknya apabila yang mendapatkannya bukan dari kalangan ahli tauhid, seperti halnya orang-orang yang suka melakukan perbuatan syirik, misalnya memohon berkah melalui kuburan orang-orang yang dikeramatkan, mengadakan acara 'haul' (merayakan hari ulang tahun kematian) dll, maka yang diperolehnya adalah 'khawariqul 'adah' (kemampuan luar biasa) yang berasal dari setan. Begitu pula bila yang memperoleh adalah yang suka melakukan perbuatan bid'ah, misalnya membaca dzikir-dzikir yang tidak disyari'atkan.

Seperti dengan membatasi jumlah-jumlah, bentuk-bentuk, suara-suara, atau cara-cara tertentu yang tidak ada contohnya dalam syari'at. Atau orang yang suka berbuat maksiat. Misalnya tidak menjaga batas-batas pergaulan antara pria dan wanita, tidak memelihara jenggot, memakai pakaian menutupi mata kaki (bagi lelaki), senang nonton (film), merokok, tidak menutup aurat dll.
Apabila demikian keadaan orangnya, maka 'khawariqul 'adah yang diperoleh adalah berasal dari setan.

[2]Melalui sebab diperolehnya 'khawariqul 'adah'.

    Khawariqul 'adah yang berasal dari Allah hanya bisa diperoleh dengan ketaatan, keimanan dan ketakwaan. Selain itu Islam tidak mengajarkan seorang muslim untuk beribadah untuk tujuan mendapatkan 'khawariqul 'adah'(kemampuan luar biasa). Justru itulah yang membedakan antara yang berasal dari Allah dan yang berasal dari setan. Yaitu bahwa 'khawariqul 'adah' yang berasal dari Allah tidak bisa dipelajari apalagi dibakukan menjadi semacam 'ilmu kedigdayaan', sedangkan yang berasal dari setan bisa dipelajari dan bisa dibakukan menjadi suatu ilmu. Sekalipun secara zhahir dilakukan dengan membaca ayat atau dzikir. Sebagaimana difirmankan Allah.

"Artinya : Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir iru mereka dapat menceraikan antara suami dan istrinya" [Al-Baqarah : 102]
Ayat tersebut menunjukkan, bahwa 'khawariqul 'adah' yang dapat dipelajari adalah sihir (berasal dari setan, sebagaimana yang diterangkan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari X/223, cetakan Jami'ah Al-Imam Muhammad bin Saud - Riyadh.

Kedua, Masalah Pengobatan
-------------------------
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menegaskan dalam Majmu' Fatawa-nya hal.67-68, bahwa sebab yang Allah ciptakan untuk penyembuhan suatu penyakit ada dua bentuk.

[1] Sebab-sebab yang syar'i, yaitu dengan membacakan ruqyah (pengobatan dengan bacaan Al-Qur'an) seperti yang dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan berdo'a kepada Allah dll.

[2] Sebab-sebab 'hissiah' (kongkrit), seperti obat-obatan yang dikenal dalam syari'at (madu dll). Atau obat-obatan yang diolah berdasarkan pengalaman dan penyelidikan ilmiah yang dapat memberikan pengaruh nyata, bukan sekedar sugesti atau khayalan. Seandainya hanya berupa sugesti atau sesuatu yang dikhayalkan menjadi obat lewat meditasi dan lain-lain, maka itu diharamkan bahkan termasuk syirik. Karena merupakan upaya menandingi Allah dalam menciptakan sebab terjadinya kesembuhan. Maka dari itu Allah pun mengharamkan pemakaian jimat-jimat, isim (rajah) dan yang sejenisnya, karena semuanya tidak memiliki sebab-sebab syari'ah maupun sebab-sebab 'hissiah' yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Kesimpulan.
Tenaga dalam yang antum pelajari berarti termasuk bentuk kemampuan luar biasa yang bukan berasal dari Allah, sebab kemampuan luar biasa tersebut diperoleh dengan cara-cara khusus, sekalipun dibungkus dengan do'a-do'a, dzikir-dzikir yang seolah-olah Islami. Padahal bisa jadi do'a-do'a serta dzikir-dzikir tersebut, adalah do'a-do'a serta dzikir-dzikir bid'ah. Apalagi dengan tujuan untuk memperoleh tenaga dalam yang itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat dan Salafu ash-Shalih..

Karena itulah sebaiknya tinggalkan saja kegiatan tersebut mumpung belum terjerumus terlalu jauh.

Semoga Bermanfaat....

Kamis, 02 Februari 2023

Membicarakan aib orang lain atau ghibah

Assalamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh....

Membicarakan aib orang lain atau ghibah telah Allah haramkan secara jelas dan tegas di dalam kitab-Nya dan melalui lisan rasul-Nya. Allah subhanahu wata'ala berfirman, artinya,

"Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya." (QS. al-Hujurat:12)

 Penjelasan tentang hakikat ghibah telah disebutkan di dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yaitu,

"Engkau membicarakan saudaramu dengan sesuatu yang dia tidak suka (untuk diungkapkan)." (HR. Muslim)

 Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga telah mengharamkan kehormatan seorang mukmin dan mengaitkannya dengan hari Arafah, bulan haram, dan tanah haram. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, dan di negri kalian ini. Ingat! Bukankah aku telah menyampaikan?" (HR Muslim).

 Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan dengan sangat tegas bahwa membicarakan aib dan kehormatan seorang mukmin itu lebih parah dibandingkan dengan seseorang yang menikahi ibunya sendiri. Diriwayatkan dari al-Barra' bin Azib radhiyallahu 'anhu dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

"Riba itu mempunyai tujuh puluh dua pintu, yang paling rendah seperti seseorang yang menikahi ibunya. Dan riba yang paling besar yakni seseorang yang berlama-lama membicarakan kehormatan saudaranya." (Silsilah ash-Shahihah no. 1871)

 Di dalam sebuah potongan hadist, riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

"Siapa yang berkata tentang seorang mukmin dengan sesuatu yang tidak terjadi (tidak dia perbuat), maka Allah subhanahu wata'ala akan mengurungnya di dalam lumpur keringat ahli neraka, sehingga dia menarik diri dari ucapannya (melakukan sesuatu yang dapat membebaskannya)." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim, disetujui oleh adz-Dzahabi, lihat Silsilah ash-Shahihah no. 437)

 Diriwayatkan dari Abdur Rahman bin Ghanam radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda,

"Sebaik-baik hamba Allah adalah orang yang jika dilihat (menjadi perhatian) disebutlah nama Allah, dan seburuk-buruk hamba Allah adalah orang yang berjalan dengan mengadu domba, memecah belah antara orang-orang yang saling cinta, dan senang untuk membuat susah orang-orang yang baik." (HR. Ahmad 4/227, periksa juga kitab "Hashaid al-Alsun" hal. 68)

 Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

"Wahai sekalian orang yang telah menyatakan Islam dengan lisannya namun iman belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian semua menyakiti sesama muslim, janganlah kalian membuka aib mereka, dan janganlah kalian semua mencari-cari (mengintai) kelemahan mereka. Karena siapa saja yang mencari-cari kekurangan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengintai kekurangannya, dan siapa yang diintai oleh Allah kekurangannya maka pasti Allah ungkapkan, meskipun dia berada di dalam rumahnya." (HR. at-Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi 2/200)

 Para salaf adalah orang yang sangat menjauhi ghibah dan takut jika terjerumus melakukan hal itu. Di antaranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, dia berkata, "Aku mendengar Abu 'Ashim berkata, "Semenjak aku ketahui bahwa ghibah adalah haram, maka aku tidak berani menggunjing orang sama sekali." (at-Tarikh al-Kabir (4/336)

 Al-Imam al-Bukhari mengatakan, "Aku berharap untuk bertemu dengan Allah subhanahu wata'ala dan Dia tidak menghisab saya sebagai seorang yang telah berbuat ghibah terhadap orang lain."

 Imam Adz-Dzahabi berkomentar, "Benarlah apa yang beliau katakan, siapa yang melihat ucapan beliau di dalam jarh dan ta'dil (menyatakan cacat dan jujurnya seorang perawi) maka akan tahu kehati-hatian beliau di dalam membicarakan orang lain, dan sikap inshaf (obyektif) beliau di dalam mendhaifkan/melemahkan seseorang.

 Lebih lanjut beliau (adz-Dzahabi) mengatakan, "Apabila aku (Imam al-Bukhari) berkata si Fulan dalam haditsnya ada catatan, dan dia diduga seorang yang lemah hafalannya, maka inilah yang dimaksudkan dengan ucapan beliau "Semoga Allah subhanahu wata'ala tidak menghisab saya sebagai orang yang melakukan ghibah terhadap orang lain." Dan ini merupakan salah satu dari puncak sikap wara'. (Siyar A'lam an -Nubala' 12/439)

 Beliau juga mengatakan, "Aku tidak menggunjing seseorang sama sekali semenjak aku ketahui bahwa ghibah itu berbahaya bagi pelakunya." (Siyar a'lam an-Nubala' 12/441)

 Para salaf apabila terlanjur menggunjing orang lain, maka mereka langsung melakukan introspeksi diri. Ibnu Wahab pernah berkata, "Aku bernadzar apabila suatu ketika menggunjing seseorang maka aku akan berpuasa satu hari. Aku pun berusaha keras untuk menahan diri, tetapi suatu ketika aku menggunjing, maka aku pun berpuasa. Maka aku berniat apabila menggunjing seseorang, aku akan bersedekah dengan satu dirham dan karena sayang terhadap dirham, maka aku pun meninggalkan ghibah."

 Berkata imam adz-Dzahabi, "Demikianlah kondisi para ulama, dan itu merupakan buah dari ilmu yang bermanfaat." (Siyar: 9/228)

 Bahkan seorang yang melakukan ghibah pada hakikatnya sedang memberikan kebaikannya kepada orang lain yang dia gunjing. Bahkan Abdur Rahman bin Mahdi berkata, "Andaikan aku tidak benci karena bermaksiat kepada Allah subhanahu wata'ala, maka tentu aku berharap tidak ada seorang pun di Mesir, ini kecuali aku menggunjingnya, yakni karena dengan itu seseorang akan mendapatkan kebaikan di dalam catatan amalnya, padahal dia tidak melakukan sesuatu." (Siyar: 9/195)

 Maka para aktivis dakwah di masa ini yang melakukan ghibah atau membicarakan aib saudaranya sesama muslim dengan alasan untuk meluruskan kesalahan dan demi kebaikan, alangkah baiknya sebelum membicarakan orang lain merenung kan beberapa masalah berikut:

 Pertama; Apakah yang dia lakukan itu adalah ikhlas dan merupakan nasihat untuk Allah subhanahu wata'ala, Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam dan kaum muslimin? Ataukah merupakan dorongan hawa nafsu baik tersembunyi atau terang-terangan? Atukah itu merupakan hasad dan kebencian terhadap orang yang dia gunjing?

 Memperjelas apa latar belakang yang mendorong untuk membicarakan orang lain sangatlah penting. Sebab berapa banyak orang yang terjerumus ke dalam ghibah dan menggunjing orang lain karena dorongan nafsu tercela sebagaimana tersebut di atas. Lalu dia menyangka bahwa yang mendorong dirinya untuk menggunjing adalah karena menyampaikan nasehat dan menginginkan kebaikan.

 Ini merupakan ketergelinciran jiwa yang sangat pelik, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, kecuali setelah merenung dan berpikir mendalam penuh rasa ikhlas dan murni karena Allah subhanahu wata'ala.

 Ke dua; Harus dilihat dulu bentuk masalahnya ketika membicarakan aib seseorang, apakah merupakan hal-hal yang di situ memang dibolehkan untuk ghibah ataukah tidak?

 Ke tiga; Renungkan berkali-kali sebelum mengeluarkan kata-kata untuk membicarakan orang lain; Apa jawaban yang saya sampaikan nanti di hadapan Allah subhanahu wata'ala pada hari Kiamat jika Dia bertanya, "Wahai hamba-Ku si Fulan, mengapa engkau membicarakan si Fulan dengan ini dan ini?"

 Hendaknya selalu ingat bahwa Allah subhanahu wata'ala telah berfirman,

"Dan ketahuilah bahwasannya Allah mengetahi apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (QS. Al-Baqarah: 235)

 Dan Ibnu Daqiq al-Ied juga telah berkata, "Kehormatan manusia merupakan salah satu jurang dari jurang jurang neraka yang para ahli hadits dan ahli hukum diam apabila telah berhadapan dengannya. (Thabaqat asy Syafi'iyyah al Kubra 2/18). Wallahu a'lam.

Sumber: "Manhaj Ahlussunnah fi an-Naqdi wal Hukmi 'alal Akharin, hal 17-20, Hisyam bin Ismail ash-Shiini.

Netter Al-Sofwa yang dimuliakan Allah Ta'ala, Menyampaikan Kebenaran adalah kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah adalah dengan menyampaikan buletin ini kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahuinya.

Semoga Allah Ta'ala Membalas 'Amal Ibadah Kita. Aamiin

 Waassalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh


Senin, 23 Januari 2023

PANDANGAN MATERIALISTIS TERHADAP KEHIDUPAN DUNIA DAN BAHAYA-BAHAYANYA

taman jernih.Ada dua sudut pandang terhadap kehidupan dunia, Pertama ; Pandangan Materialistis dan Kedua ; Pandangan yang benar. Masing-masing sudut pandang tersebut memiliki pengaruhnya tersendiri.

ADAPUN MAKNA PANDANGAN MATERIALISTIS TERAHADAP DUNIA
Yaitu pemikiran yang hanya terbatas pada bagaimana mendapatkan kenikmatan sesaat di dunia, sehingga apa yang diusahakannya hanya seputar masalah tersebut. Pikirannya tidak melampui hal tersebut, ia tidak memperdulikan akibat-akibatnya, tidak pula berbuat dan memperhatikan masalah tersebut. Ia tidak mengetahui bahwa Allah menjadikan dunia ini sebagai ladang akhirat.
Allah menjadikan dunia ini sebagai kampung beramal dan akhirat sebagai kampung balasan. Maka barangsiapa mengisi dunianya dengan amal shalih, niscaya ia mendapatkan keberuntungan di dua kampung tersebut. Sebaliknya barangsiapa menyia-nyiakan dunianya, niscaya ia akan kehilangan akhiratnya.

Allah berfirman.
"Artinya : Rugilah di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata". [Al-Hajj : 11]

"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya" [Al-Kahfi : 7]
Diantara manusia -dan jumlah mereka mayoritas- ada yang menyempitkan pandangannya hanya pada lahiriah dan kenikmatan-kenikamatan dunia semata.
Mereka memuaskan nafsunya dengan berbagai hal tersebut dan tidak merenungkan rahasia di balik itu. Karenanya, mereka sibuk untuk mendapatkan dan mengumpulkan dunia dengan melupakan amal untuk sesudah mati.

Allah mengancam orang yang memiliki pandangan seperti ini terhadap dunia, sebagaimana firman-Nya.

"Artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan" [Huud : 15-16]

Ancaman di atas berlaku bagi semua yang memiliki pandangan materialistis tersebut, baik mereka yang melakukan amal akhirat, tapi menghendaki kehidupan dunia, seperti orang-orang munafik, orang-orang yang berpura-pura dengan amal perbuatan mereka atau orang-orang kafir yang tidak percaya terhadap adanya Kebangkitan dan Hisab (Perhitungan Amal).

Termasuk pandangan materialistis terhadap kehidupan dunia ini adalah apa yang disebutkan Allah dalam Al-Qur'an dalam kisah Qarun dan kekayaan yang diberikan kepadanya. Allah berfirman.

"Artinya : Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya.
Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, 'Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar" [Al-Qashash : 79]

Mereka mengangan-angankan dan mengingikan memiliki kekayaan seperti Qarun seraya menyifatinya telah mendapatkan keberuntungan yang besar, yakni berdasarkan pandangan mereka yang materialistis.

Hal ini seperti keadaan sekarang di negara-negara kafir yang memiliki kemajuan di bidang teknologi industri dan ekonomi, lalu umat Islam yang lemah imannya memandang mereka dengan pandangan kekaguman tanpa melihat kekufuran mereka serta apa yang bakal menimpa mereka dari kesudahan yang buruk. Pandangan yang salah ini lalu mendorong mereka mengagungkan orang-orang kafir dan memuliakan mereka dalam jiwa mereka serta menyerupai
mereka dalam tingkah laku dan kebiasaan-kebiasaaan mereka yang buruk.

PANDANGAN YANG BENAR TERHADAP KEHIDUPAN
Yaitu pandangan yan menyatakan bahwa apa yang ada di dunia ini, baik harta, kekuasaan dan kekuatan materi lainnya hanyalah sebagai sarana untuk amal akhirat. Karena itu, pada hakikatnya dunia bukanlah tecela karena dirinya, tetapi pujian dan celaan itu tergantung pada perbuatan hamba di dalamnya.
Dunia adalah jembatan penyebrangan menuju akhirat dan daripadanya bekal menuju Surga. Dan kehidupan baik yang diperoleh penduduk Surga tidak lain kecuali berdasarkan apa yang telah mereka tanam ketika du dunia. Maka dunia adalah kampung jihad, shalat, puasa dan infak di jalan Allah, serta medan laga untuk berlomba dalam kebaikan. Allah berfirman kepada para penduduk Surga.

"Artinya : (Kepada mereka dikatakan), 'Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu (ketika di dunia)" [Al-Haqqah : 24]

[Dilsain dari kitab 'At-Tauhid Lish Shfis Tsalis Al-Ali (Kitab Tauhid 3) oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Darul Haq, hal.71-76]

Kemudian, seperti apa yang ditanyakan diatas ; yaitu masalah hakekat do'a bagi orang Islam, adalah merupakan suatu ibadah. Memperbanyak do'a baik dalam keadaan sempit maupun lapang menjadi sunnah para Nabi dan Rasul mulai dari Nabi Adam 'alaihi salam hingga Nabi Muhammad Shallaalhu 'alaihi wa sallam.

Akan tetapi banyak di antara manusia melakukan kesalahan dan kekeliruan dalam berdo'a, serta tidak mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Sehingga kesalahan dan kekeliruan bisa menjadi sebab tidak dikabulkannya do'a seseorang.

Dan, kita tidak boleh berprasangka buruk kepada Allah, dengan sebab 'merasa belum terkabulnya do'a'. Apa itu 'Prasangka Buruk'.?? ikutilah pembahasannya yang saya salin dari kitab 'Jahalatun Nas Fid Du'a (Kesalahan Dalam Berdo'a) oleh Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih, Darul Haq, hal. 14-17.

BURUK SANGKA KEPADA ALLAH
Berburuk sangka kepada Allah merupakan bukti kelemahan iman dan bodohnya seseorang terhadap hak Allah serta tidak memberi pengagungan kepadaNya dengan sebaik-baik pengagungan. Sebagian orang menyangka Allah sebagaimana menyangka makhluq, bahwa Allah tidak akan mampu mengabulkan segala keinginannya sehingga dia tidak memohon kepada Allah kecuali sedikit sekali.
Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka sangka.

Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata : "Jadilah", maka terjadilah. Dia Maha Mulia memberi segala sesuatu kepada semua hambaNya hingga kepada hamba yang durhaka sekalipun.
Sebaiknya seseorang harus berbaik sangka kepada Allah dan memohon kepadaNya segala sesuatu serta jangan menganggap ada sesuatu yang sulit bagi Allah.
Allah Maha Kuasa mengabulkan permohonan hambaNya.

Sebuah hadits dari Abu Dzar Radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Allah berfirman wahai hambaKu seandainya orang terdahulu dan sekarang baik dari jin maupun manusia berkumpul di satu tempat, kemudian mereka semua memohon kepadaKu dan Aku kebulkan seluruh permohonan mereka, maka demikian itu tidak mengurangi sama sekali perbendaharaanKu melainkan seperti berkurangnya air laut tatkala jarum dicelupkan kedalamnya" [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Bir bab Tahrim Zhulm 8/16-17]

Dari Aisyah Radhiallahu 'anha bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Berharaplah yang banyak karena sesungguhnya kamu meminta kepada Tuhanmu" [Syarh Sunnah oleh Imam Al-Baghwai 5/208 No. 1403. Al-Haitsami dalam Majam' Az-Zawaid. Thabrani dalam Al-Ausath 10/150]

Imam Al-Baghawi Rahimahullah berkata bahwa maksudnya adalah berharap dalam hal yang mubah baik tentang urusan dunia atau akhirat.
Hendaknya setiap keluhan, permohonan dan harapan diajukan kepada Allah sebagaimana firmanNya.

"Artinya : Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya" [An-Nisa: 32]

Bukan berarti kita boleh berharap mendapatkan harta atau nikmat orang lain dengan unsur hasad dan dengki. Jelas ini dilarang Allah, seperti firman Allah.

"Artinya : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain" [An-Nisaa : 32]

Dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Jika kalian berdoa perbanyaklah keinginannya, sebab Allah tidak menganggap besar terhadap pemberianNya" [Musnad Imam Ahmad 2/475, Imam Thabrani dalam kitab Do'a]

Hadits diatas menurut Al-Banna dalam kitab Fathur Rabbani bahwa setiap orang yang berdo'a harus disertai dengan permohonan yang sungguh-sungguh dan meng-iba atau memohon sesuatu yang banyak lagi besar berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Sebab Allah tidak menganggap besar terhadap pemberianNya". Artinya sebesar apapun Allah pasti akan mengabulkannya. [Fathur Rabbani 14/274]


[Disalin dari kitab 'Jahalatun Nas Fid Du'a (Kesalahan Dalam Berdo'a) oleh Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih, Darul Haq, hal. 14-17]