tamanjernih TamJer: kompas.comhttps://tamanjernih.blogspot.com/
Tampilkan postingan dengan label kompas.com. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kompas.com. Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 Agustus 2011

Jangan Takut Laporkan Pungli PSB

Proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang tengah berlangsung menjadi konsen para orangtua saat ini. Disamping memilih sekolah yang baik, tentunya dari sisi biaya juga menjadi hal yang telah dipersiapkan. Jika mendaftarkan anak di sekolah negeri, perlu diingat bahwa tidak ada pungutan yang dikenakan. Para orangtua diimbau untuk waspada, serta tak terjebak oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan sekolah dan menarik sejumlah uang dengan janji anaknya akan diterima di sekolah yang dituju. Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto mengatakan, tak ada sumbangan pendidikan yang dikenakan bagi calon siswa di sekolah negeri. Bagaimana jika menemukan adanya praktik pungli seperti itu?

“Yang harus dilakukan orangtua adalah, jangan takut dan jangan mau. Cek orang ini siapa, bisa jadi ada orang yang memanfaatkan situasi. Kalau sampai ketemu praktik seperti ini, meminta sejumlah uang, laporkan ke Dinas Pendidikan Kabupaten/kota atau lansung ke Dinas Provinsi...
Ia menegaskan, dalam formulir pendaftaran yang dilakukan secara online jelas tidak ada klausul mengenai besaran sumbangan pendidikan. Hal yang sama juga berlaku untuk sekolah negeri dengan status rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).

“Untuk sekolah negeri, pada dasarnya, layanan pendidikan bagi SD dan SMP secara standar sudah dipenuhi melalui BOS (bantuan operasional sekolah) dan BOP (bantuan operasional pendidikan) plus tambahan-tambahan yang lain karena biaya investasi seperti gedung, lab, sudah dilakukan pemerintah provinsi. Lainnya, untuk operasional seperti gaji sudah ditangani oleh pemprov juga. Sementara, kebutuhan personal siswa seperti seragam, buku, ya dipenuhi oleh orangtuanya,”
Jika terdapat program di luar standar yang telah ditetapkan pemerintah, Taufik menekankan, agar dibicarakan dengan pihak orangtua. “Program tersebut harus berbasis kebutuhan dan bukan keinginan,” ujarnya.

Tak hanya itu, pihak sekolah juga harus mengajukan masukannya tentang program yang akan dilaksanakan dengan Komite Sekolah. Setelah dilakukan pembahasan antara sekolah dan Komite Sekolah, maka orangtua akan mendapatkan penjelasan dari Komite Sekolah.
Adukan Pungli di Posko Peduli Pendidikan

Selain mengadukan ke Dinas Pendidikan DKI Jakarta, para orangtua juga bisa mengadukannya ke posko yang dibentuk Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pendidikan. Posko yang dibuka di 12 provinsi ini menjadi sumber informasi dan pos pengaduan bagi orangtua siswa.

Selain itu, posko pengaduan ini juga akan memberikan bantuan advokasi pada orangtua siswa yang menghadapi kesulitan memasukkan anaknya ke sekolah yang diinginkan. Posko tersebut berada di Kantor Aliansi Orangtua Peduli Pendidikan (APPI) sekaligus Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jalan Kalibata Timur IV D Nο.6 Jakarta Selatan atau menghubungi Jumono melalui saluran telepon di (021) 70791221.

Masyarakat juga dapat menghubungi Education Care (E-Care) dengan nomor telepon (021) 70623749, Garut Governance Watch (GGW) di (0262) 237323, MaTA Aceh di (0654) 43605, Koalisi Mahasiswa dan Rakyat Tasikmalaya di 081383690032 (Jamal), Lembaga Pendidikan Rakyat Antikorupsi (Perak Institute) Makassar di (0411) 453058, Gabungan Solidaritas Antikorupsi (GaSAK) Banda Aceh di 085261785854, dan Kantor Pattiro Semarang di (024) 8441357 dan 082134857927.

Selasa, 02 Agustus 2011

Hidup Lebih Berarti"Power of Missions"

Seorang wanita sukses yang hampir memasuki usia 80 tahun, ditanya teman-temannya, apakah beliau akan membuat pesta besar untuk merayakan ulang tahunnya. Dengan penuh senyum ia menjawab bahwa dirinya ingin “cari duit” saja. Maksudnya, dalam rangka ulang tahun, ia akan membuat acara penggalangan dana. Dana yang terkumpul akan dimanfaatkan untuk membangun gedung laboratorium, asrama untuk anak jalanan, atau kegiatan sejenisnya.
Dalam usia yang sudah lanjut, beliau masih memikirkan cara membangun dan membuat sesuatu. Saat ditanya apa yang menjadi gregetnya, ia berkomentar,“Sederhana saja. Saya melaksanakan misi suami yang sejak dulu ingin membantu orang miskin, memajukan kesehatan dan pendidikan.”
Ternyata kekuatan kehendak suaminya yang sudah meninggal puluhan tahun lalu membuat wanita ini bertujuan dan mampu memaknai hidupnya dengan upaya-upaya positif, berarti dan berguna.
Seorang psikiater, Victor Frankl, mengemukakan pentingnya menyadari dan menyuarakan “purpose of life” individu. Tidak hanya untuk diri pribadinya, namun juga untuk keluarga, anak, cucu, karyawan, anggota kelompok, bahkan rakyatnya. Frankl juga menekankan bahwa manusia punya kebebasan penuh untuk menyikapi situasi yang dihadapinya. Apakah itu kegelapan, tantangan, godaan, kenikmatan, batu besar ataupun kerikil. Pada akhirnya, manusia memang bisa mengisi hidupnya dengan “good stuff” atau “bad stuff” dan menjadikan dirinya pribadi yang terhormat atau tidak terhormat.
Di jaman modern ini, kita lihat semakin banyak individu berkeyakinan bahwa kebahagiaannya datang dari kekayaan materi. Banyak orang sudah tidak bisa membedakan halal tidak halalnya mata pencaharian, dibudakkan harta, lupa batas antara kebutuhan dan keserakahan, bahkan tidak peduli membangun karakter pribadi. Buntut-buntutnya, setelah kekayaan di tangan pun, hidup tetap terasa pahit dan tidak berarti. Banyak orang yang sudah “punya segalanya”, namun tidak bahagia dan berusaha mencari ketenangan melalui upaya penggalangan kegiatan religius yang tidak berujung.
Bagaimana pun, kesibukan dan tantangan yang terus-menerus hadir di depan mata, memang bisa membuat kita tidak punya lagi banyak waktu untuk melakukan refleksi diri. Jika kita ingin hidup kita berarti, tampaknya kita harus memaksa diri untuk diam sejenak, memikirkan kembali, dan memahami dengan jelas apa misi hidup kita.
Power of missions
Pertanyaannya, bisakah seseorang menjalankan hidup tanpa misi yang jelas? Terkadang banyak orang di sekitar kita yang mengambil keputusan tanpa repot-repot pikir panjang mengenai apa yang ingin ia capai dalam hidupnya. Banyak di antara kita tidak mendera diri untuk mencari jawaban mengapa ia bersikap dalam situasi tertentu. Misalnya saja, orang tua yang bercerai karena emosi dan marah pada pasangan, tanpa memikirkan nasih putra-putrinya. Dalam situasi ini kita bisa meilihat bahwa prioritas untuk membuat putra-putrinya bahagia, aman dan nyaman, tidak menjadi dasar mengambil keputusan. Ada seorang pemilik perusahaan yang membawa perusahaannya tumbuh besar, kemudian menjualnya dan meraup keuntungan besar dari proses akuisisi perusahaan. Setelah diakuisisi, ia tidak lagi tampak serius menggarap pengembangan perusahaan dan berhenti berinvestasi. Di sini kita bisa bertanya-tanya, apa misi pemiliknya? Dalam situasi ini, masih bisakah ia mempengaruhi karyawan untuk terus berinovasi? Apakah beliau kemudian bisa menjawab kepentingan kolektif stakeholder lainnya?
Dari situasi tadi kita bisa melihat betapa seseorang bisa kehilangan arah dan power jika tidak jelas misi dirinya. Dalam situasi kepemimpinan, para pengikut akan dibuat bingung oleh pemimpin yang tidak jelas ke mana tim akan dibawa. Sebaliknya, pimpinan yang punya misi mencerdaskan bawahan, bisa bertindak tegas, bahkan keras, pada anak buahnya yang enggan belajar. Teman saya, seorang pengusaha sukses, berprinsip: “Pokoknya perusahaan, orang, dan industri harus maju terus”. Kedengaran seperti tagline Ganefo jaman Sukarno, “Onward, never retreat”. Namun, kejelasan misinya itu membuat seluruh karyawan jadi tidak berani untuk tidak maju, aktif dan agresif dalam bekerja.
Berisi dengan misi
Rasanya kita perlu kembali menyadari bahwa misi lebih sakti daripada sekadar uang. Chris Gardner yang kisah hidupnya diangkat ke layar kaca mengatakan: “Your pursuit determines your happiness.” Kita sesungguhnya bisa mengecek sendiri, apakah di akhir hidup nanti kita bisa berkata: “I did what I was created to do. I contributed to this world in a significant manner.”
Setiap kali tindakan kita mengarah pada pencapaian misi, kita tentu serta-merta merasa happy dan semakin menikmati hidup ber-misi kita. Dengan misi yang jelas, kita bisa lebih kuat menangkis godaan, apakah itu harta, jabatan dan fasilitas. Misi akan otomatis menjadi patokan yang membuat kita jadi lebih jelas dalam mengambil keputusan dan tindakan. Misi dapat dikatakan bagaikan magnet yang menjaga agar kita “stay on track”. (Eileen Rachman/Sylvina Savitri/EXPERD Consultant)
Sumber: Seorang wanita sukses yang hampir memasuki usia 80 tahun, ditanya teman-temannya, apakah beliau akan membuat pesta besar untuk merayakan ulang tahunnya. Dengan penuh senyum ia menjawab bahwa dirinya ingin “cari duit” saja. Maksudnya, dalam rangka ulang tahun, ia akan membuat acara penggalangan dana. Dana yang terkumpul akan dimanfaatkan untuk membangun gedung laboratorium, asrama untuk anak jalanan, atau kegiatan sejenisnya.
Dalam usia yang sudah lanjut, beliau masih memikirkan cara membangun dan membuat sesuatu. Saat ditanya apa yang menjadi gregetnya, ia berkomentar,“Sederhana saja. Saya melaksanakan misi suami yang sejak dulu ingin membantu orang miskin, memajukan kesehatan dan pendidikan.”
Ternyata kekuatan kehendak suaminya yang sudah meninggal puluhan tahun lalu membuat wanita ini bertujuan dan mampu memaknai hidupnya dengan upaya-upaya positif, berarti dan berguna.
Seorang psikiater, Victor Frankl, mengemukakan pentingnya menyadari dan menyuarakan “purpose of life” individu. Tidak hanya untuk diri pribadinya, namun juga untuk keluarga, anak, cucu, karyawan, anggota kelompok, bahkan rakyatnya. Frankl juga menekankan bahwa manusia punya kebebasan penuh untuk menyikapi situasi yang dihadapinya. Apakah itu kegelapan, tantangan, godaan, kenikmatan, batu besar ataupun kerikil. Pada akhirnya, manusia memang bisa mengisi hidupnya dengan “good stuff” atau “bad stuff” dan menjadikan dirinya pribadi yang terhormat atau tidak terhormat.
Di jaman modern ini, kita lihat semakin banyak individu berkeyakinan bahwa kebahagiaannya datang dari kekayaan materi. Banyak orang sudah tidak bisa membedakan halal tidak halalnya mata pencaharian, dibudakkan harta, lupa batas antara kebutuhan dan keserakahan, bahkan tidak peduli membangun karakter pribadi. Buntut-buntutnya, setelah kekayaan di tangan pun, hidup tetap terasa pahit dan tidak berarti. Banyak orang yang sudah “punya segalanya”, namun tidak bahagia dan berusaha mencari ketenangan melalui upaya penggalangan kegiatan religius yang tidak berujung.
Bagaimana pun, kesibukan dan tantangan yang terus-menerus hadir di depan mata, memang bisa membuat kita tidak punya lagi banyak waktu untuk melakukan refleksi diri. Jika kita ingin hidup kita berarti, tampaknya kita harus memaksa diri untuk diam sejenak, memikirkan kembali, dan memahami dengan jelas apa misi hidup kita.
Power of missions
Pertanyaannya, bisakah seseorang menjalankan hidup tanpa misi yang jelas? Terkadang banyak orang di sekitar kita yang mengambil keputusan tanpa repot-repot pikir panjang mengenai apa yang ingin ia capai dalam hidupnya. Banyak di antara kita tidak mendera diri untuk mencari jawaban mengapa ia bersikap dalam situasi tertentu. Misalnya saja, orang tua yang bercerai karena emosi dan marah pada pasangan, tanpa memikirkan nasih putra-putrinya. Dalam situasi ini kita bisa meilihat bahwa prioritas untuk membuat putra-putrinya bahagia, aman dan nyaman, tidak menjadi dasar mengambil keputusan. Ada seorang pemilik perusahaan yang membawa perusahaannya tumbuh besar, kemudian menjualnya dan meraup keuntungan besar dari proses akuisisi perusahaan. Setelah diakuisisi, ia tidak lagi tampak serius menggarap pengembangan perusahaan dan berhenti berinvestasi. Di sini kita bisa bertanya-tanya, apa misi pemiliknya? Dalam situasi ini, masih bisakah ia mempengaruhi karyawan untuk terus berinovasi? Apakah beliau kemudian bisa menjawab kepentingan kolektif stakeholder lainnya?
Dari situasi tadi kita bisa melihat betapa seseorang bisa kehilangan arah dan power jika tidak jelas misi dirinya. Dalam situasi kepemimpinan, para pengikut akan dibuat bingung oleh pemimpin yang tidak jelas ke mana tim akan dibawa. Sebaliknya, pimpinan yang punya misi mencerdaskan bawahan, bisa bertindak tegas, bahkan keras, pada anak buahnya yang enggan belajar. Teman saya, seorang pengusaha sukses, berprinsip: “Pokoknya perusahaan, orang, dan industri harus maju terus”. Kedengaran seperti tagline Ganefo jaman Sukarno, “Onward, never retreat”. Namun, kejelasan misinya itu membuat seluruh karyawan jadi tidak berani untuk tidak maju, aktif dan agresif dalam bekerja.
Berisi dengan misi
Rasanya kita perlu kembali menyadari bahwa misi lebih sakti daripada sekadar uang. Chris Gardner yang kisah hidupnya diangkat ke layar kaca mengatakan: “Your pursuit determines your happiness.” Kita sesungguhnya bisa mengecek sendiri, apakah di akhir hidup nanti kita bisa berkata: “I did what I was created to do. I contributed to this world in a significant manner.”
Setiap kali tindakan kita mengarah pada pencapaian misi, kita tentu serta-merta merasa happy dan semakin menikmati hidup ber-misi kita. Dengan misi yang jelas, kita bisa lebih kuat menangkis godaan, apakah itu harta, jabatan dan fasilitas. Misi akan otomatis menjadi patokan yang membuat kita jadi lebih jelas dalam mengambil keputusan dan tindakan. Misi dapat dikatakan bagaikan magnet yang menjaga agar kita “stay on track”. (Eileen Rachman/Sylvina Savitri/EXPERD Consultant)