Assalamu'alaikum Warahmatullaahi
Wabarakatuh....
Membicarakan aib orang
lain atau ghibah telah Allah haramkan secara jelas dan tegas di dalam kitab-Nya
dan melalui lisan rasul-Nya. Allah subhanahu wata'ala berfirman, artinya,
"Dan janganlah
sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah
salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya." (QS. al-Hujurat:12)
Penjelasan tentang hakikat ghibah telah
disebutkan di dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yaitu,
"Engkau membicarakan saudaramu dengan
sesuatu yang dia tidak suka (untuk diungkapkan)." (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
juga telah mengharamkan kehormatan seorang mukmin dan mengaitkannya dengan hari
Arafah, bulan haram, dan tanah haram. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu
Bakar radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda,
"Sesungguhnya darah kalian, harta
kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana haramnya
hari kalian ini, di bulan kalian ini, dan di negri kalian ini. Ingat! Bukankah
aku telah menyampaikan?" (HR Muslim).
Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan
dengan sangat tegas bahwa membicarakan aib dan kehormatan seorang mukmin itu
lebih parah dibandingkan dengan seseorang yang menikahi ibunya sendiri.
Diriwayatkan dari al-Barra' bin Azib radhiyallahu 'anhu dia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Riba itu mempunyai tujuh puluh dua
pintu, yang paling rendah seperti seseorang yang menikahi ibunya. Dan riba yang
paling besar yakni seseorang yang berlama-lama membicarakan kehormatan saudaranya."
(Silsilah ash-Shahihah no. 1871)
Di dalam sebuah potongan hadist, riwayat
dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda,
"Siapa yang berkata tentang seorang
mukmin dengan sesuatu yang tidak terjadi (tidak dia perbuat), maka Allah
subhanahu wata'ala akan mengurungnya di dalam lumpur keringat ahli neraka,
sehingga dia menarik diri dari ucapannya (melakukan sesuatu yang dapat
membebaskannya)." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim, disetujui oleh
adz-Dzahabi, lihat Silsilah ash-Shahihah no. 437)
Diriwayatkan dari Abdur Rahman bin Ghanam
radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda,
"Sebaik-baik hamba Allah adalah orang
yang jika dilihat (menjadi perhatian) disebutlah nama Allah, dan seburuk-buruk
hamba Allah adalah orang yang berjalan dengan mengadu domba, memecah belah
antara orang-orang yang saling cinta, dan senang untuk membuat susah
orang-orang yang baik." (HR. Ahmad 4/227, periksa juga kitab "Hashaid
al-Alsun" hal. 68)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu
'anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Wahai sekalian orang yang telah
menyatakan Islam dengan lisannya namun iman belum masuk ke dalam hatinya,
janganlah kalian semua menyakiti sesama muslim, janganlah kalian membuka aib
mereka, dan janganlah kalian semua mencari-cari (mengintai) kelemahan mereka.
Karena siapa saja yang mencari-cari kekurangan saudaranya sesama muslim maka
Allah akan mengintai kekurangannya, dan siapa yang diintai oleh Allah
kekurangannya maka pasti Allah ungkapkan, meskipun dia berada di dalam
rumahnya." (HR. at-Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih sunan
at-Tirmidzi 2/200)
Para salaf adalah orang yang sangat menjauhi ghibah dan takut jika
terjerumus melakukan hal itu. Di antaranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhari, dia berkata, "Aku mendengar Abu 'Ashim berkata,
"Semenjak aku ketahui bahwa ghibah adalah haram, maka aku tidak berani
menggunjing orang sama sekali." (at-Tarikh al-Kabir (4/336)
Al-Imam al-Bukhari mengatakan, "Aku
berharap untuk bertemu dengan Allah subhanahu wata'ala dan Dia tidak menghisab
saya sebagai seorang yang telah berbuat ghibah terhadap orang lain."
Imam Adz-Dzahabi berkomentar,
"Benarlah apa yang beliau katakan, siapa yang melihat ucapan beliau di
dalam jarh dan ta'dil (menyatakan cacat dan jujurnya seorang perawi) maka akan
tahu kehati-hatian beliau di dalam membicarakan orang lain, dan sikap inshaf
(obyektif) beliau di dalam mendhaifkan/melemahkan seseorang.
Lebih lanjut beliau (adz-Dzahabi)
mengatakan, "Apabila aku (Imam al-Bukhari) berkata si Fulan dalam
haditsnya ada catatan, dan dia diduga seorang yang lemah hafalannya, maka
inilah yang dimaksudkan dengan ucapan beliau "Semoga Allah subhanahu wata'ala
tidak menghisab saya sebagai orang yang melakukan ghibah terhadap orang
lain." Dan ini merupakan salah satu dari puncak sikap wara'. (Siyar A'lam
an -Nubala' 12/439)
Beliau juga mengatakan, "Aku tidak
menggunjing seseorang sama sekali semenjak aku ketahui bahwa ghibah itu
berbahaya bagi pelakunya." (Siyar a'lam an-Nubala' 12/441)
Para salaf apabila terlanjur menggunjing orang lain, maka mereka
langsung melakukan introspeksi diri. Ibnu Wahab pernah berkata, "Aku
bernadzar apabila suatu ketika menggunjing seseorang maka aku akan berpuasa
satu hari. Aku pun berusaha keras untuk menahan diri, tetapi suatu ketika aku
menggunjing, maka aku pun berpuasa. Maka aku berniat apabila menggunjing
seseorang, aku akan bersedekah dengan satu dirham dan karena sayang terhadap
dirham, maka aku pun meninggalkan ghibah."
Berkata imam adz-Dzahabi, "Demikianlah
kondisi para ulama, dan itu merupakan buah dari ilmu yang bermanfaat."
(Siyar: 9/228)
Bahkan seorang yang melakukan ghibah pada
hakikatnya sedang memberikan kebaikannya kepada orang lain yang dia gunjing.
Bahkan Abdur Rahman bin Mahdi berkata, "Andaikan aku tidak benci karena
bermaksiat kepada Allah subhanahu wata'ala, maka tentu aku berharap tidak ada
seorang pun di Mesir, ini kecuali aku menggunjingnya, yakni karena dengan itu
seseorang akan mendapatkan kebaikan di dalam catatan amalnya, padahal dia tidak
melakukan sesuatu." (Siyar: 9/195)
Maka para aktivis dakwah di masa ini yang
melakukan ghibah atau membicarakan aib saudaranya sesama muslim dengan alasan
untuk meluruskan kesalahan dan demi kebaikan, alangkah baiknya sebelum
membicarakan orang lain merenung kan
beberapa masalah berikut:
Pertama; Apakah yang dia lakukan itu adalah
ikhlas dan merupakan nasihat untuk Allah subhanahu wata'ala, Rasul-Nya
shallallahu 'alaihi wasallam dan kaum muslimin? Ataukah merupakan dorongan hawa
nafsu baik tersembunyi atau terang-terangan? Atukah itu merupakan hasad dan
kebencian terhadap orang yang dia gunjing?
Memperjelas apa latar belakang yang
mendorong untuk membicarakan orang lain sangatlah penting. Sebab berapa banyak
orang yang terjerumus ke dalam ghibah dan menggunjing orang lain karena
dorongan nafsu tercela sebagaimana tersebut di atas. Lalu dia menyangka bahwa
yang mendorong dirinya untuk menggunjing adalah karena menyampaikan nasehat dan
menginginkan kebaikan.
Ini merupakan ketergelinciran jiwa yang
sangat pelik, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, kecuali setelah
merenung dan berpikir mendalam penuh rasa ikhlas dan murni karena Allah
subhanahu wata'ala.
Ke dua; Harus dilihat dulu bentuk
masalahnya ketika membicarakan aib seseorang, apakah merupakan hal-hal yang di
situ memang dibolehkan untuk ghibah ataukah tidak?
Ke tiga; Renungkan berkali-kali sebelum
mengeluarkan kata-kata untuk membicarakan orang lain; Apa jawaban yang saya
sampaikan nanti di hadapan Allah subhanahu wata'ala pada hari Kiamat jika Dia
bertanya, "Wahai hamba-Ku si Fulan, mengapa engkau membicarakan si Fulan
dengan ini dan ini?"
Hendaknya selalu ingat bahwa Allah
subhanahu wata'ala telah berfirman,
"Dan ketahuilah bahwasannya Allah
mengetahi apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (QS. Al-Baqarah: 235)
Dan Ibnu Daqiq al-Ied juga telah berkata,
"Kehormatan manusia merupakan salah satu jurang dari jurang jurang neraka
yang para ahli hadits dan ahli hukum diam apabila telah berhadapan dengannya.
(Thabaqat asy Syafi'iyyah al Kubra 2/18). Wallahu a'lam.
Sumber: "Manhaj Ahlussunnah fi
an-Naqdi wal Hukmi 'alal Akharin, hal 17-20, Hisyam bin Ismail ash-Shiini.
Netter Al-Sofwa yang dimuliakan Allah
Ta'ala, Menyampaikan Kebenaran adalah kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita
saat ini untuk berdakwah adalah dengan menyampaikan buletin ini kepada
saudara-saudara kita yang belum mengetahuinya.
Semoga Allah Ta'ala Membalas 'Amal Ibadah
Kita. Aamiin
Waassalamu'alaikum warahmatullaahi
wabarakatuh