tamanjernih TamJerhttps://tamanjernih.blogspot.com/

Kamis, 23 Desember 2021

Ghibah - Antara Terlarang dan Yang Diperbolehkan

Antara Terlarang dan Yang Diperbolehkan disebut juga dengan Ghibah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: 

”Dan janganlah sebagian kalian mengghibah sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentunya kalian tidak menyukainya (merasa jijik). Dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Hujurat : 12)


Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya : “Dalam ayat ini ada larangan berbuat ghibah. Dan Penetap Syariat telah menafsirkan ghibah tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud[1] nomor 4874.”

Lalu Ibnu Katsir membawakan sanadnya sampai kepada Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam apa yang dimaksud dengan ghibah. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab :

[ “Engkau menyebut tentang saudaramu dengan apa yang ia tidak sukai.” Lalu ditanyakan lagi : “Apa pendapatmu, wahai Rasulullah, jika memang perkara yang kukatakan itu ada pada saudaraku?” Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab : “Jika memang perkara yang kau katakan itu ada padanya maka sungguh engkau telah meng-ghibahnya dan jika perkara yang yang kau katakan itu tidak ada padanya maka sungguh engkau telah berdusta.” (Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 4 halaman 272. Darul Faiha dan Darus Salam) ]

Ghibah atau yang diistilahkan ngerumpi oleh kalangan awam merupakan santapan lezat bagi para wanita secara khusus, walaupun pria juga ada yang melakukannya. Namun wanita yang mendominasi dalam hal ini. Di mana ada wanita berkumpul maka jarang sekali majelis itu selamat dari membicarakan aib orang lain, apakah itu tetangganya, temannya, iparnya, atau bahkan suami dan orang tuanya sendiri tidak luput dari pembicaraan. Dan setan datang menghiasi, sehingga mereka yang hadir merasa lezat dalam berghibah dan lupa akan ancaman Allah dan Rasul-Nya terhadap perbuatan keji ini.

Yang menyedihkan, perbuatan ghibah ini tidak hanya menimpa orang yang buta atau tidak peduli dengan agamanya, bahkan juga menimpa Muslimah yang telah mengerti tentang hukum-hukum agama ini. Di tempat pengajian mereka mendapat wejangan untuk berhati-hati dari membicarakan aib saudaranya sesama Muslim, mereka diberi peringatan dan ancaman untuk menjaga lisan. Namun ketika keluar dari tempat pengajian mereka tenggelam dalam perbuatan ini dengan sadar ataupun tanpa sadar. Dan memang setan begitu bersemangat untuk menyesatkan anak Adam, Wallahul Musta’an.

Ghibah ini haram hukumnya dan sangat dicerca. Ibnu Katsir rahimahullah berkata : [ Karena itulah Allah Tabaraka Wa Ta’ala menyerupakan perbuatan ghibah ini dengan memakan daging manusia yang telah mati, sebagaimana Dia berfirman : “Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentunya kalian tidak menyukainya (merasa jijik).”

Yakni sebagaimana kalian tidak suka/jijik untuk memakan bangkai manusia secara tabiat, maka hendaklah kalian juga tidak suka untuk melakukan ghibah secara syariat, karena hukuman perbuatan ghibah ini lebih berat. Allah menyebutkan permisalan seperti ini untuk menjauhkan manusia dari berbuat ghibah dan tahzir (peringatan) terhadap perbuatan ini. ]

Demikian Ibnu Katsir menerangkan. (Tafsir Ibnu Katsir 4/273)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam khuthbah beliau di Mina ketika haji Wada’ mengingatkan akan tingginya kehormatan kaum Muslimin sehingga tidak layak untuk direndahkan dengan perbuatan ghibah. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian haram atas kalian seperti keharaman/kehormatan hari kalian ini (yakni hari Nahar tanggal 10 Dzulhijjah, -pent.), pada bulan kalian ini (yakni bulan Dzulhijjah sebagai salah satu bulan haram, -pent.).” (HR. Bukhari nomor 1739 dan Muslim nomor 1679 dari shahabat Abi Bakrah radhiallahu 'anhu)

Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam juga bersabda : “Cukuplah kejelekan bagi seseorang bila ia merendahkan saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim terhadap Muslim yang lain haram darahnya, kehormatannya, dan hartanya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya nomor 2564 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)

Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma menceritakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam naik ke mimbar, lalu beliau berseru dengan suara yang lantang : “Wahai orang-orang yang mengaku beriman dengan lisannya namun iman itu belum masuk (belum sampai) ke dalam hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum Muslimin, jangan kalian mengghibah mereka dan mencari-cari aurat mereka (kejelekan mereka), karena sesungguhnya siapa yang mencari-cari aurat saudaranya yang Muslim niscaya Allah akan mencari-cari auratnya dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah maka Allah akan membeberkan aurat tersebut walaupun di tengah rumahnya.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud. Dishahihkan Asy Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam kitabnya Ash Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain 1/493. Darul Haramain)

Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma suatu hari memandang ke Ka’bah lalu ia berkata : “Alangkah agungnya engkau dan alangkah besarnya kehormatanmu, namun orang Mukmin memiliki kehormatan yang lebih besar di sisi Allah dibanding dirimu.” (Tafsir Ibnu Katsir 4/274)

Ketika ‘Aisyah radhiallahu 'anha --istri yang paling Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam cintai-- menjelekkan madunya, maka beliau bersegera mengingkari perbuatan ‘Aisyah. Cinta beliau yang besar kepada sang istri tidak menghalangi beliau untuk menasehati dan menyalahkan perbuatannya yang menyimpang. Ketika itu ‘Aisyah berkata dengan rasa cemburunya : “Wahai Rasulullah cukup bagimu Shafiyah, dia begini dan begitu.” Berkata salah seorang perawi hadits ini : “Yang ‘Aisyah maksudkan adalah Shafiyah itu pendek.”

Maka mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sungguh engkau telah mengucapkan satu kata yang seandainya kata tersebut dicampurkan dengan air laut niscaya dapat mencemarinya.” (HR. Abu Daid dan Tirmidzi. Dishahihkan Asy Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud nomor 4080. Shahih Sunan Tirmidzi nomor 2034. Al Misykat nomor 4853, 4857. Ghayatul Maram nomor 427)

Perkataan ghibah ini memang ringan diucapkan lisan namun berat dalam timbangan kejelekan. Kenapa tidak? Sementara ada siksa yang secara khusus diancamkan bagi pelaku ghibah, seperti yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Tatkala aku di-Mi’raj-kan (dibawa ke langit oleh Malaikat Jibril dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, pent.), aku melewati suatu kaum (di neraka, pent.) yang mereka memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku tersebut mereka mencakari wajah dan dada mereka. Maka aku bertanya kepada Jibril : “Siapa mereka itu, wahai Jibril?” Jibril menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang (ketika di dunia, pent.) memakan daging manusia (berbuat ghibah, pent.) dan melanggar kehormatan manusia.” (HR. Abu Daud. Dishahihkan Asy Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud nomor 4082. As Shahihah nomor 533).

Asy Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali dalam kitabnya Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadlush Shalihin berkata : [ Dan di antara cabang ayat ini (surat Al Hujurat ayat 12) adalah :

1) Ghibah adalah penyebab aib seseorang ketika ia tidak hadir. Allah menyamakan orang yang tidak hadir dengan mayat karena ia tidak mampu untuk membela dirinya dan menolak pembicaraan tentang aibnya. Demikian pula mayat, dia tidak tahu bila dagingnya dimakan sebagaimana orang hidup dia tidak tahu ketika dia sedang ghaib (tidak berada di tempat) tentang orang yang mengghibahnya.

2) Dalam ayat ini ada dalil tentang hujjah qiyasul aula dan keterangannya adalah :

Firman Allah Ta’ala : (Fa karihtumuuhu), di dalamnya ada dua sisi/makna :

Yang pertama : Kalian tidak suka/jijik untuk memakan bangkai. Maka hendaklah kalian tidak suka perbuatan ghibah.

Yang kedua : Kalian tidak suka manusia mengghibah kalian. Maka hendaklah kalian tidak suka untuk mengghibah manusia.

3) Sebagaimana tidak pantas bagi seorang hamba untuk menyebut seseorang yang telah meninggal kecuali kebaikannya, maka demikian pula sepantasnya ia tidak menyebut saudaranya dari kalangan Muslimin kecuali kebaikan ketika saudaranya itu tidak hadir di hadapannya.

(Lihat Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadlush Shalihin halaman 6-7. Dar Ibnul Jauzi)

Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata dalam Al Adzkar : “Adapun ghibah adalah engkau menyebut seseorang dengan apa yang ia tidak sukai, sama saja apakah (ghibah itu menyangkut) tubuhnya, agamanya, dunianya, jiwanya, fisiknya, akhlaknya, hartanya, anaknya, orang tuanya, istrinya, pembantunya, budaknya, sorbannya, pakaiannya, cara jalannya, gerakannya, senyumnya, muka masamnya, atau yang selainnya dari perkara yang menyangkut diri orang tersebut. Sama saja apakah engkau menyebut tentang orang tersebut dengan lafadhmu (ucapan bibirmu) atau tulisanmu, atau melalui tanda dan isyarat matamu, atau dengan tanganmu, atau kepalamu atau yang semisalnya.

Adapun ghibah yang menyangkut badan seseorang misalnya engkau mengatakan : Si Fulan buta, atau pincang, picak, gundul, pendek, tinggi, hitam, kuning, dan lain-lain.

Ghibah yang berkaitan dengan agama, misalnya engkau berkata : Si Fulan itu fasik, atau pencuri, pengkhianat, dhalim, meremehkan shalat, bermudah-mudah dalam perkara najis, tidak berbuat baik pada orang tuanya, tidak memberikan zakat pada tempatnya, tidak menjauhi ghibah, dan lain-lain.

Ghibah yang menyangkut urusan dunia seseorang, misalnya engkau berkata : Si Fulan kurang adabnya, meremehkan manusia, tidak memandang ada orang yang punya hak terhadapnya, banyak bicara, banyak makan dan tidur, tidur bukan pada waktunya, duduk tidak pada tempatnya, dan lain-lain.

Ghibah yang bersangkutan dengan orang tuanya, misalnya engkau mengatakan : Si Fulan itu ayahnya fasik. Atau mengatakan dengan nada merendahkan : Si Fulan anaknya tukang sepatu, anaknya penjual kain, anaknya tukang kayu, anaknya pandai besi, anaknya orang sombong, dan lain-lain.

Ghibah yang menyangkut akhlak, misalnya engkau berkata : Si Fulan jelek akhlaknya, sombong, ingin dilihat bila beramal (riya), sifatnya tergesa-gesa, lemah hatinya, dan lain-lain.

Ghibah yang berkaitan dengan pakaian seseorang, misalnya engkau berkata : Si Fulan lebar kerah bajunya, bajunya kepanjangan, dan lain-lain.

Yang jelas, batasan ghibah adalah engkau menyebut seseorang dengan apa yang ia tidak sukai, apakah dengan ucapan bibirmu atau yang lainnya. Dan setiap perkara yang dapat dipahami oleh orang lain bahwa itu menyangkut kekurangan seorang Muslim maka hal tersebut merupakan ghibah yang diharamkan.

Dan termasuk ghibah adalah meniru-nirukan tingkah laku seseorang untuk menunjukkan kekurangan yang ada padanya, misalnya menirukan cara berjalannya dengan membungkuk dan sebagainya.

Termasuk pula dalam ghibah ini apabila seorang penulis kitab menyebutkan tentang seseorang dalam kitabnya, dengan mengatakan : “Telah berkata Fulan begini dan begitu … .” Yang ia inginkan dengan tulisannya tersebut untuk menjatuhkan si Fulan dan menjelekkannya.

Namun apabila tujuan penulisan tersebut untuk menjelaskan kesalahan si Fulan agar orang lain tidak mengikutinya, atau untuk menjelaskan kelemahannya dalam bidang ilmu agar manusia tidak tertipu dengannya dan tidak menerima pendapatnya, maka hal ini bukanlah termasuk ghibah. Bahkan ini merupakan nasihat yang wajib dan diberi pahala bagi pelakunya.
Demikian pula bila seorang penulis atau yang lainnya berkata : “Telah berkata satu kaum atau satu kelompok begini dan begitu, dan perkataan ini salah dan menyimpang … .” Maka ini bukan termasuk ghibah karena tidak langsung menyebut individu atau kelompok tertentu.
Termasuk ghibah bila dikatakan kepada seseorang : “Bagaimana keadaannya si Fulan?” Lalu orang yang ditanya menjawab : “Alhamdulillah, keadaan kita tidak seperti dia, semoga Allah menjauhkan kita dari kejelekan dan kurangnya rasa malu … .” Atau ucapan-ucapan lain yang dipahami maksud dibaliknya untuk menjelekkan orang lain, walaupun si pengucap berlagak memanjatkan doa. ]

(Demikian kami ringkaskan dari nukilan Asy Syaikh Salim Al Hilali dalam kitabnya Bahjatun Nadhirin 3/25-27)

Yang Dikecualikan Dari Ghibah
Al Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Riyadlus Shalihin menyebutkan beberapa perkara yang dikecualikan dari ghibah :

Pertama : Mengadukan kedhaliman seseorang kepada penguasa atau hakim atau orang yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan kedhaliman tersebut.

Kedua : Meminta tolong kepada orang yang memiliki kemampuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran.

Ketiga : Mengadukan seseorang dalam rangka meminta fatwa kepada mufti, seperti perbuatan Hindun ketika mengadukan suaminya Abu Sufyan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, ia berkata : “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, ia tidak memberi nafkah yang mencukupi aku dan anakku, kecuali bila aku mengambilnya tanpa sepengetahuannya (apakah ini dibolehkan)?” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab : “Ambillah sekedar dapat mencukupi dirimu dan anakmu dengan ma’ruf.” (HR. Bukhari dan Muslim nomor 1714 dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha)

Keempat : Dalam rangka memperingatkan kaum Muslimin dari kejelekan dan menasehati mereka. Hal ini dari beberapa sisi, di antaranya :

a) Men-jarh (menyebutkan kejelekan) para perawi hadits, misalnya dikatakan : Si Fulan rawi yang dusta, dlaif.

b) Ketika diminta pendapat (diajak musyawarah) dalam memilih pasangan hidup, atau yang lainnya. Maka wajib bagi yang diajak musyawarah untuk tidak menyembunyikan kejelekan yang diketahuinya dengan meniatkan nasihat. Sebagaimana hal ini dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika dimintai pendapat oleh Fathimah bintu Qais radhiallahu 'anha dalam menentukan pilihan antara menerima pinangan Muawiyyah atau Abu Jahm radhiallahu 'anhuma. Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menasehatkan : “Adapun Muawiyyah, maka dia seorang yang fakir, tidak memiliki harta. Sedangkan Abu Jahm dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (yakni suka memukul wanita, pent.).” (HR. Bukhari dan Muslim nomor 1480)

c) Ketika melihat ada seseorang yang sering bertamu ke rumah ahlul bid’ah atau orang fasik dan dikhawatirkan orang itu akan terpengaruh/kena getahnya, maka wajib menasehatinya dengan menjelaskan keadaan ahlul bid’ah atau orang fasik itu.

Kelima : Menyebutkan kejelekan orang yang terang-terangan berbuat maksiat atau bid’ah seperti minum khamar, merampas harta orang lain, dan lain-lain.

Keenam : Menyebut seseorang dengan gelaran/perkara yang dia terkenal/masyhur dengannya, misalnya : Si buta, si pendek, si hitam, dan lain-lain.

(Dinukil dengan ringkas dari Riyadlus Shalihin halaman 450-451. Cetakan Maktabatul Ma’arif)

Apakah Ghibah Termasuk Dosa Besar?

Al Imam Ash Shan’ani rahimahullah dalam kitabnya Subulus Salam berkata : “Ulama berselisih apakah ghibah ini termasuk dosa kecil atau dosa besar. Al Imam Al Qurthubi menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa ghibah termasuk dosa besar.”[2] (Lihat Subulus Salam 4/292. Cetakan Maktabah Al Irsyad. Shan’a). Dan pendapat bahwasanya ghibah adalah dosa besar inilah yang didukung oleh dalil sebagaimana diterangkan Al Imam Ash Shan’ani.

Termasuk dalil yang menunjukkan besarnya dosa ghibah adalah hadits yang diriwayatkan Abu Daud dalam Sunan-nya dari Said bin Zaid, ia berkata bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya termasuk perbuatan riba yang paling puncak adalah melanggar kehormatan seorang Muslim tanpa haq.” (Hadits ini dishahihkan oleh Asy Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud nomor 4081. Ash Shahihah 1433 dan 1871 dan dishahihkan pula oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi dalam kitabnya Ash Shahihul Musnad)

Haramnya Mendengarkan Ghibah

Al Imam An Nawawi dalam Al Adzkar : “Ketahuilah sebagaimana ghibah itu diharamkan bagi pelakunya, diharamkan pula bagi pendengar untuk mendengarkannya. Maka wajib bagi orang yang mendengar seseorang ingin berbuat ghibah untuk melarangnya apabila ia tidak mengkhawatirkan terjadinya mudlarat.

Apabila ia khawatir terjadi mudlarat maka hendaknya ia mengingkarinya dengan hatinya dan meninggalkan majelis itu bila memungkinkan.

Apabila ia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau memotong pembicaraan ghibah dengan membelokkan pada pembicaraan lain, maka wajib baginya untuk melakukannya. Bila tidak ia lakukan maka sungguh ia telah bermaksiat.

Apabila ia berkata dengan lisannya : ‘Diam’ (berhentilah dari ghibah) sementara hatinya menginginkan ghibah itu diteruskan, maka yang demikian itu adalah nifak dan pelakunya berdosa. Seharusnya ketika lisan melarang, hati pun turut mengingkari.

Dan kapan seseorang terpaksa berada di majelis yang diucapkan ghibah padanya sementara ia tidak mampu untuk mengingkarinya atau ia mengingkari namun ditolak dan ia tidak mendapatkan jalan untuk meninggalkan majelis tersebut, maka haram baginya untuk bersengaja mencurahkan pendengaran dan perhatian pada ghibah yang diucapkan. Namun hendaknya ia berdzikir kepada Allah dengan lisan dan hatinya, atau dengan hatinya saja, atau ia memikirkan perkara lain agar ia tersibukkan dari mendengarkan ghibah tersebut. Setelah itu apabila ia menemukan jalan untuk keluar dari majelis itu sementara mereka yang hadir terus tenggelam dalam ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan tempat itu.” (Dinukil dari Bahjatun Nadhirin 3/29-30)

Allah Ta’ala berfirman : “Dan apabila mereka (Mukminin) mendengar ucapan laghwi, mereka berpaling darinya. (Al Qashshash : 55)

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al Isra’ : 36)

Cara Bertaubat Dari Ghibah

Ada dua pendapat ulama dalam masalah ini dan keduanya merupakan riwayat dari Al Imam Ahmad, yaitu :

1) Apakah cukup bertaubat dari ghibah dengan memintakan ampun kepada Allah untuk orang yang dighibah?
2) Ataukah harus memberitahukannya dan meminta kehalalannya?

Yang benar adalah tidak perlu memberitahukan ghibah itu kepada yang dighibahi, tapi cukup memintakan ampun untuknya dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat dia mengghibah saudaranya tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dan selainnya. (Nashihati lin Nisa’ halaman 31. Cetakan Darul Haramain)

Demikian kami tutup pembahasan ghibah ini dengan mengajak kepada diri kami dan pembaca untuk selalu bertakwa kepada Allah dengan menjauhi perbuatan ghibah dan menyibukkan diri dengan aib/kekurangan yang ada pada diri sendiri. Dan barangsiapa sibuk dengan aibnya sendiri dan tidak mengorek aib orang lain bahkan ia menjunjung kehormatan orang lain, maka sungguh ia telah mengenakan salah satu dari perhiasan akhlak yang mulia. Wallahu A’lam Bis Shawwab.

Daftar Pustaka

1. Bahjatun Nadhirin. Asy Syaikh Salim Al Hilali

2. Fathul Bari. Al Hafidh Ibnu Hajar

3. Nashihati lin Nisa’. Ummu Abdillah Al Wadi’iyyah bintu Asy Syaikh Muqbil Al Wadi’i

4. Riyadlus Shalihin. Al Imam An Nawawi

5. Subulus Salam. Al Imam Ash Shan’ani

------------------------------------------------------
[1] Ta’rif tentang ghibah ini disebutkan oleh Imam Muslim dalam hadits yang ia keluarkan pada kitab Shahih-nya (nomor 2589) dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tahukah kalian apakah ghibah itu?” Para shahabat menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Lalu beliau menyebutkan sebagaimana tertera dalam riwayat Abu Daud yang dibawakan oleh Ibnu Katsir di atas.

[2] Namun ijma’ yang disebutkan ini tidaklah benar karena Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa penulis kitab Ar Raudlah dan Al Imam Ar Rafi’i berpendapat bahwa ghibah termasuk dosa kecil. (Fathul Bari 10/480. Al Maktabah As Salafiyyah)

Dinukil dari [Majalah Salafy - Muslimah Edisi 39/1422 H/2001] Penulis Ummu Ishaq Al Atsariyyah, Judul asli Menjaga Kehormatan Muslimin Dengan Menjauhi Ghibah.

Selasa, 27 Juli 2021

Jenis Tanaman Herbal untuk Cegah Infeksi Virus Corona

 Pandemi Covid-19 membuat banyak orang khawatir hingga melakukan berbagai hal agar tidak mudah terinfeksi virus corona baru. Salah satu yang jamak dilakukan masyarakat Indonesia, yakni mengonsumsi jamu atau beberapa jenis tanaman herbal yang dianggap bisa meningkatkan daya tahan tubuh atau imunitas. Ternyata, anggapan atau cara tersebut bukan hanya isapan jempol semata. 

Ini Pencerahan dari WHO soal Obat Kumur, Sinar Matahari, dan Bawang Putih Terkait Virus Corona Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengambangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Akhmad Saikhu, MSc. PH., menjelaskan ada beberapa jenis tanaman yang secara empiris dapat manfaat meningkatkan daya tahan tubuh sehingga baik untuk mencegah infeksi virus corona. 

Berikut ini daftanya: 

1. Pegagan Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Tanaman yang memiliki nama latin Centela asiatica merupakan tanaman tradisional yang mempunyai manfaat sebagai imunomodulator pada penyakit yang membutuhkan pertahanan sistem imun seluler maupun humoral. Kandungan senyawa glikosida triterpenoid dan asiaticoside dapat mempercepat perbaikan sel-sel kulit dan meningkatkan daya tahan tubuh non spesifik. 

2. Bawang putih Tanaman dengan nama latin Allium sativum ini telah dikenal mempunyai banyak keunggulan, seperti: Menjaga kesehatan dengan cara meregulasi hormon Meregulasi aliran darah Bahkan bisa meningkatkan gairan bercinta Jika diperhatikan lebih jauh, bawang putih ini juga memiliki fungsi dalam meningkatkan kekebalan yang mengesankan. Baca juga: Jangan Disepelekan, Ini 6 Manfaat Luar Biasa Konsumsi Bawang Putih Bawang putih mengandung allicin, sebuah komponen kuat yang dapat menghancurkan bakteri dan infeksi. 

3. Temulawak Lihat Foto Temulawak(Shutterstock) Tanaman dengan nama latin Curcuma xanthorrhiza Roxb. tersebut dikenal memiliki efek yang baik dalam meningkatkan daya tahan tubuh atau imunitas tubuh. Temulawak mempunyai beberapa kandungan senyawa kimia yang terdapat pada rimpangnya, antara lain berupa: Fellandrean dan turmerol atau yang sering disebut minyak menguap Minyak atsiri Kamfer Glikosida Foluymetik karbinol Kurkuminoid Kurkuminoid terdiri atas kurkumin dan desmetoksikurkumin, yang bermanfaat antara lain untuk: Menetralkan racun Menghilangkan nyeri Antibakteri Mencegah pelemakan dalam sel-sel hati Antioksidan Baca juga: 7 Kesalahan yang Sering Dilakukan Saat Cuci Tangan 

4. Meniran Lihat Foto Daun Meniran(Wikimedia Commons) Tanaman dengan nama latin Phyllanthus niruri L. ini secara empirik dapat digunakan untuk beberapa keperluan, seperti: Pengobatan gangguan ginjal Sariawan Malaria Tekanan darah tinggi Peluruh air seni Nyeri ginjal Kencing batu dan gangguan empedu Sebagai antidiare Sebagai antipiretik Dalam dunia farmasi, ekstrak meniran telah teruji secara klinis juga sebagai imunomodulator atau peningkat daya tahan tubuh. 

5. Kunyit   Tanaman dengan nama latin Curcuma domestica Val tersebut terbukti mengandung zat aktif yang khas, yaitu curcuminoide dan ukanon jenis A, B, C dan D yang berfungsi merangsang daya tahan tubuh. Baca juga: Jahe dan Kunyit: Manfaat hingga Efek Samping 

6. Temu mangga Lihat Foto Ilustrasi Temu Mangga(Kompas.com) Tanaman dengan nama latin Curcuma mangga ini mempunyai aktivitas fagositosis terkuat dibandingkan empon-empon lain yang dikenal untuk meningkatka daya tahan tubuh. Akhmad Saikhu, memastikan kebermanfaatan beberapa jenis tanaman tersebut sudah teruji secara klinis dapat meningkatkan daya tahan tubuh. 

Hasil penelitian mengenai hal itu juga sudah diterbitkan B2P2TOOT, Tawangmangu, Karanganyar dalam Buku Vademekum Tanaman Obat untuk Saintifikasi Jamu pada 2013. “Setelah diteliti dan diujicobakan, kami menyimpulkan bahwa tanaman-tanaman tersebut memang baik untuk peningkatan daya tahan tubuh,” jelas Saikhu saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (18/4/2020). Karena kebermanfaatannya sebagai imunomudulator, dia pun menyampaikan, enam jenis tanaman di atas baik dikonsumsi sekarang ini dengan tujuan untuk mencegah infeksi virus corona. Tanaman itu dapat dikonsumsi dengan cara rebus 2-3 jenis bahan kering masing-masing 10 gram dalam 400 ml air atau 2 gelas air selama 15 menit. Kemudian, minum 2 kali sehari.

Rabu, 10 Maret 2021

Wasiat Penting Imam Syafi'i Menjelang Kematiannya

 Imam Syafi'i merupakan salah satu ulama kelahiran Palestina yang memiliki peran penting dalam sejarah pemikiran Islam. Dialah sang peletak dasar mazhab fikih Syafii, salah satu dari empat mazhab yang dianut kalangan ahlus sunnah wa al-jama'ah (Aswaja).

Nama lengkapnya Muhammad bin Idris bin 'Abbas bin 'Usman bin Syaafi' bin Saaib bin 'Ubaid bin 'Abdu Yazid bin Haasyim bin 'Abdul Mutthalib bin 'Abdul Manaf. Dia dilahirkan di Ghaza pada pada 150 Hijriyah dan meninggal dunia di Fusthat, Mesir, pada 204 Hijriyah atau 819 Masehi. 

Menjelang kematiannya, Imam Syafi'i pun memberikan nasihat penting kepada muridnya, Al-Muzanni. Imam Syafi'i mewasiatkan kepada muridnya agar selalu bertakwa kepada Allah, mengingat akhirat, mengikuti kebenaran, sabar menghadapi musibah, dan berbuat baik. 

Berikut nasihat Imam Syafi'i menjelang kematiannya, seperti dikutip dari buku Biografi Imam Syafi’i: Kisah Perjalanan Hidup Sang Mujtahid karya Tariq Suwaidan.

Imam Syafi'i berkata, "Bertakwalah kepada Allah dan ingatlah selalu akhirat dalam hatimu. Jadikan kematian selalu di matamu dan jangan lupa keadaanmu kelak di hadapan Allah. Jadilah selalu bersama Allah dan jauhi larangan-Nya. Tunaikan kewajiban-Nya dan berjalanlah di jalan keberanan di mana pun kau berada."

Imam Syafi'i melanjutkan, "Jangan kau anggap remeh nikmat Allah kepadamu, walaupun sedikit. Terimalah ia dengan rasa syukur. Jadikan diammu sebagai tafakur, bicaramu sebagai dzikir, dan pandanganmu sebagai usaha mengambil pelajaran. Maafkan orang yang menzalimimu. Jalin silaturahim dengan orang yang memutuskannya, bersikaplah baik kepada orang yang bersikap buruk kepadamu, bersabarlah atas musibah, dan mintalah ampunan Allah dari neraka dengan takwa." 

Al-Muzanni meminta lagi tambahan nasihat dari gurunya itu. Imam Syafi'i pun melanjutkan nasihatnya dengan berkata, "Jadikan kejujuran sebagai lisanmu, menjaga amanat sebagai tiangmu, rahmat sebagai buahmu, syukur sebagai pembersihmu, kebenaran sebagai perniagaanmu, kasih sayang sebagai hiasanmu, Alquran sebagai kecerdasanmu, ketaatan sebagai hidupmu, keridaan sebagai amanatmu, pemahaman sebagai mata hatimu, harapan sebagai kesabaranmu, dan takut sebagai pakaianmu."

Imam Syafi'i melanjutkan, "Jadikan sedekah sebagai pelindungmu, zakat sebagai bentengmu, rasa malu sebagai pemimpinmu, kesabaran sebagai menterimu, tawakkal sebagai tamengmu, dunia sebagai penjaramu, kemiskinan sebagai tempat tidurmu, kebenaran sebagai penuntunmu, haji dan jihad sebagai tujuanmu, Alquran sebagai temenmu berbicara, dan Allah sebagai penghiburmu. Barangsiapa menjadikan semua ini menjadi sifatnya maka surga akan menjadi tempatnya," ujar Imam Syafi'i. 

by.tamanjernih.blogspot.com or republika.id

NASEHAT EMAS DARI IMAM SYAFI’I

 Berikut ini adalah kumpulan kata-kata mutiara dari Imam Syafi’i yang juga merupakan nasihat yang sangat berguna bagi kehidupan ini. Simak selengkapnya di bawah ini:

1. “Bila kamu tak mau merasakan lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung pahitnya kebodohan,” (Imam Syafi’i)

2. “Jangan cintai orang yang tidak mencintai Allah, kalau Allah saja ia tinggalkan, apalagi kamu,” (Imam Syafi’i)

3. “Barang siapa yang menginginkan husnul khatimah, hendaklah ia selalu berprasangka baik dengan manusia,” (Imam Syafi’i)

4. “Doa di saat tahajud adalah umpama panah yang tepat mengenai sasaran,” (Imam Syafi’i)

5. “Ilmu itu bukan yang dihafal tetapi yang memberi manfaat,” (Imam Syafi’i)

6. “Siapa yang menasehatimu secara sembunyi-sembunyi, maka ia benar-benar menasehatimu. Siapa yang menasehatimu di khalayak ramai, dia sebenarnya menghinamu,” (Imam Syafi’i)

7. “Berapa banyak manusia yang masih hidup dalam kelalaian, sedangkan kain kafan sedang ditenun” (Imam Syafi’i)

8. “Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu, dan kematian di pelupuk matamu,” (Imam Syafi’i)

9. “Berkatalah sekehendakmu untuk menghina kehormatanku, diamku dari orang hina adalah suatu jawaban. Bukanlah artinya aku tidak mempunyai jawaban, tetapi tidak pantas bagi singa meladeni anjing,” (Imam Syafi’i)

10. “Amalan yang paling berat diamalkan Ada 3 (tiga). 1. Dermawan saat yang dimiliki sedikit. 2. Menghindari maksiat saat sunyi tiada siapa-siapa. 3. Menyampaikan kata-kata yang benar di hadapan orang diharap atau ditakuti,” (Imam Syafi’i)

11. “Orang yang hebat adalah orang yang memiliki kemampuan menyembunyikan kemelaratannya, sehingga orang lain menyangka bahwa dia berkecukupan karena dia tidak pernah meminta,” (Imam Syafi’i)

12. “Orang yang hebat adalah orang yang memiliki kemampuan menyembunyikan amarah, sehingga orang lain mengira bahwa ia merasa ridha,” (Imam Syafi’i)

13. “Orang yang hebat adalah orang yang memiliki kemampuan menyembunyikan kesusahan, sehingga orang lain mengira bahwa ia selalu senang,” (Imam Syafi’i)

14. “Apabila engkau memiliki seorang sahabat yang membantumu dalam ketaatan kepada Allah, maka genggam eratlah ia, jangan engkau lepaskan. Karena mendapatkan seorang sahabat yang baik adalah perkara yang sulit, sedangkan melepaskannya adalah perkara yang mudah,” (Imam Syafi’i).

15. “Menghindarkan telinga dari mendengar hal-hal yang tidak baik merupakan suatu keharusan, sebagaimana seseorang menyucikan tutur katanya dari ungkapan buruk,” (kata bijak Islami Imam Syafi’i)

Semoga bermanfaat

by, tamanjernih.blogspot.com or inipasti,com